:kunthi hastorini
walau duka dan bahagia, hanya airmata yang berkata kata
tapi, tataplah bening mata kanak, kau akan temukan cinta dan bahagia di sana, sebagai puisi penuh metafora
mungkin kau rasakan juga bahagia terkabar, telur dadar yang kumasak, harum kopi yang kau seduh, semerbak mengisi dadaku, cinta yang teramat sederhana, tapi istimewa
lihatlah juga atta, arya, altaf, rama, satria bermain bola, demikian riang, di taman yang menyimpan dingin dan angin, kanakkanak yang bahagia
cinta adalah kebeningan di mata kanakkanak kita, seperti doamu, seperti doaku, seperti doa kita
doaku selalu, kita berbahagia dengan segala karunia, bersyukur dengan cinta yang kita punya
lihatlah, telah terang dunia, cahaya pagi, cahaya matahari, seperti harap kita, berguna bagi sesama, berarti di alam semesta
tersenyumlah, karena senyummu mekar bunga bunga, di jiwaku
dengan cinta aku bekerja, dengan bekerja aku buktikan cinta, gerak dalam pikiran, gerak dalam hati, gerak dalam perbuatan
selarut malam ini aku masih tetap bekerja, karena aku mencintaimu, sayang
jika engkau kelopak bunga yang murung, aku lebah yang berdengung, menari tembang asmara, agar kau bahagia
aku ingin membuat metafora tersulit dan terindah, tapi untuk apa, karena kita bahagia dengan yang sederhana dan biasa biasa saja
kebahagiaan itu, sayang, detik demi aku mencintaimu, dengan rasa syukur tak terhingga
karena engkau adalah cinta, aku tak ingin menerjemahkannya. biar engkau kupahami apa adanya.
aku sebut namamu, cinta.
telah kutandai malam dengan kata, agar kau tahu, ada yang mencinta dirimu, apa adanya
telah kutitipkan terang di hatimu, agar kau tak lupa, ada aku yang selalu mencintaimu.
telah kutitipkan bintang. di langit cintamu. agar matamu tetap bercahaya
bagi cinta tak ada jarak terjauh, yang ada hanya jarak terdekat. di hati kita
aku akan marah, jika ada yang menghinamu, karena engkau cintaku, puisiku yang terindah
kaulah buku yang menyimpan rahasia, akulah pembaca yang selalu setia, mengeja
aku ingin menulis puisi yang paling bahagia, agar engkau tertawa, tak terus berduka
Malang, 2011
walau duka dan bahagia, hanya airmata yang berkata kata
tapi, tataplah bening mata kanak, kau akan temukan cinta dan bahagia di sana, sebagai puisi penuh metafora
mungkin kau rasakan juga bahagia terkabar, telur dadar yang kumasak, harum kopi yang kau seduh, semerbak mengisi dadaku, cinta yang teramat sederhana, tapi istimewa
lihatlah juga atta, arya, altaf, rama, satria bermain bola, demikian riang, di taman yang menyimpan dingin dan angin, kanakkanak yang bahagia
cinta adalah kebeningan di mata kanakkanak kita, seperti doamu, seperti doaku, seperti doa kita
doaku selalu, kita berbahagia dengan segala karunia, bersyukur dengan cinta yang kita punya
lihatlah, telah terang dunia, cahaya pagi, cahaya matahari, seperti harap kita, berguna bagi sesama, berarti di alam semesta
tersenyumlah, karena senyummu mekar bunga bunga, di jiwaku
dengan cinta aku bekerja, dengan bekerja aku buktikan cinta, gerak dalam pikiran, gerak dalam hati, gerak dalam perbuatan
selarut malam ini aku masih tetap bekerja, karena aku mencintaimu, sayang
jika engkau kelopak bunga yang murung, aku lebah yang berdengung, menari tembang asmara, agar kau bahagia
aku ingin membuat metafora tersulit dan terindah, tapi untuk apa, karena kita bahagia dengan yang sederhana dan biasa biasa saja
kebahagiaan itu, sayang, detik demi aku mencintaimu, dengan rasa syukur tak terhingga
karena engkau adalah cinta, aku tak ingin menerjemahkannya. biar engkau kupahami apa adanya.
aku sebut namamu, cinta.
telah kutandai malam dengan kata, agar kau tahu, ada yang mencinta dirimu, apa adanya
telah kutitipkan terang di hatimu, agar kau tak lupa, ada aku yang selalu mencintaimu.
telah kutitipkan bintang. di langit cintamu. agar matamu tetap bercahaya
bagi cinta tak ada jarak terjauh, yang ada hanya jarak terdekat. di hati kita
aku akan marah, jika ada yang menghinamu, karena engkau cintaku, puisiku yang terindah
kaulah buku yang menyimpan rahasia, akulah pembaca yang selalu setia, mengeja
aku ingin menulis puisi yang paling bahagia, agar engkau tertawa, tak terus berduka
Malang, 2011
Comments
Post a Comment