Oleh: Sutan Iwan Soekri Munaf
Berhadapan dengan sajak tidaklah sama dengan berhadapan dengan prosa, baik cerita maupun tulisan bentuk lainnya. Bermuka-muka dengan sajak akan menguak pengalaman batin dan pengetahuan pikir serta kemampuan berimajinasi. Jika berhadapan dengan prosa, baik cerita maupun tulisan lainnya, akan terkuak pesan yang ingin dikomunikasikan pengarangnya kepada pembaca, berhadapan dengan sajak maka pembacalah yang diharapkan proaktif menguak pesan yang akan disampaikan penyairnya. Pasalnya, dalam sajak itu banyak ruang terbuka, mengutip kalimat dalam sajak Nanang Suryadi berjudul “Intro” (hlm. 11).
Paling tidak, itulah titik berangkat saya saat berhadapan dengan sepilihan sajak Nanang Suryadi berisi 99 sajak dalam kumpulannya berjudul Telah Dialamatkan padamu, terbitan Dewata Publishing tahun 2002 lalu. Saat berhadapan dengan Telah Dialamatkan padamu itu, saya pun diantarkan oleh Ahmaddun Y. Herfanda lewat tulisannya “’Erotisme Religius' Sajak Nanang”. Namun demikian, tetap saya mencoba mencari kuakan untuk mencapai pesan yang akan disampaikan sang penyair. Paling tidak juga, ini sesuai dengan pernyataan Ahmaddun yang mengutip pendapat Suminto A. Sayuti bahwa kemungkinan tafsir puisi bergantung pada kekayaan intelektual pembacanya.
Bermuka-muka dengan sajak Nanang, agaknya kita berhadapan dengan “buku pengalaman dan pengetahuan” yang terbuka dari seorang anak manusia. Keluh kesah, sedu sedan, suka duka, riang gembira, harapan, kenyataan, dan banyak lagi tercatat pada kepingan-kepingan sajak Nanang. Boleh dikatakan, berhadapan dengan sajak Nanang, kita akan mendapatkan kisah panjang dari episode perjalanan hidup. Tidak saja berjalan sekadar, tetapi juga berjalan mencari. Boleh jadi pencarian itu tanpa henti. Pencarian itu akan selesai atau tak akan pernah selesai, siapa berani menduga?
Jika Ahmaddun merasakan getar religius ketika berhadapan dengan sajak Nanang sehingga mengingatkan Ahmaddun terhadap sufistik pada era 1980-an, saat bermuka-mukaan dengan sajak Nanang, saya justru merasakan terdapat kepolosan seorang anak manusia mencatat setiap kejadian dalam dirinya. Entah catatan itu berupa pertanyaan, pernyataan, entah pula berupa bentuk-bentuk godaan yang akan dieksplorasi pada saat mendatang. Boleh jadi, getar keimanan seorang Nanang sebagai makhluk Tuhannya bergelora dan bersenyawa dengan kelajangan seorang perjaka tingting yang sibuk mengolah lahan cintanya terhadap gadis, sehingga melahirkan dugaan Ahmaddun bahwa Nanang itu penyair erotisme religius. Tapi, boleh jadi Nanang yang seorang lajang dan suka masuk ke dunia maya di internet, menguak situs XXX dan seluruh denyar darah dalam aortanya terpengaruh untuk menggerakkan jemarinya menekan tuts di keyboard untuk melahirkan sajaknya. Namun, sebelum sajak itu benar-benar lahir, kenakalan Nanang sebagai cyborg muncul, dia ubah huruf K dan M yang kecil tadi dengan huruf besar, seperti sajak bertajuk “Penari Telanjang” pada halaman 88 buku itu yang dicontohkan Ahmaddun. Tentu saja berubah segala maknanya.
Pertanyaannya, apakah betul begitu kejadiannya? Tentu hanya Nanang Suryadi, sang penyair, yang bisa menjawab. Namun, saat berhadapan dengan sajak, sah saja pembaca menguak berbagai kemungkinan dalam menukik ke dalam sajak, bahkan hingga yang paling tidak mungkin sekalipun. Apakah perlu sama hasil yang dikuak seorang pembaca dari sajak yang bermukaan dengannya, dengan pesan yang disampaikan penyairnya lewat sajak itu? Agaknya, dengan pengalaman dan pengetahuannya, pembaca boleh jadi berbeda dengan penyair. Sah saja pembaca menangkap pesan yang berbeda dengan pesan yang dimaksud penyairnya. Lantas, akan gagalkah penyairnya manakala pesan yang dikomunikasikannya lewat sajak, ternyata ditangkap berbeda oleh pembacanya? Pembaca bukanlah papan sasaran tembak yang diam di tempatnya, melainkan manusia yang bergerak baik rasa maupun pikirannya. Karena itu, perbedaan itu tentu tidak membawa arti bahwa penyair gagal mengkomunikasikan pesannya. Malah bisa saja itu justru makin memperkaya pemaknaan terhadap sajaknya. Hal ini, misalnya pada sajak “Aku” karya Chairil Anwar. Kau dalam sajak itu boleh berarti ‘orang kedua’. Namun, jika kata itu dibaca menjadi Ka – u, dalam bahasa Minangkabau itu artinya ‘orang kedua berjenis kelamin perempuan’. Apalagi kita mengetahui, Chairil berdarah Minangkabau dan pernah di Medan. Ucapan Ka – u di Kawasan Minangkabau maupun di Kota Medan sudah menjadi hal yang lumrah.
Catatan perjalanan Nanang dalam pencarian itu, sebagai salah satu contoh, adalah yang berjudul “Mencintamu adalah Mencintai Aliran Air Tak Henti Mengalir” (hlm. 34).
dimana kau sampai. sepi juga kiranya mendekapmu malam ini. kemana kau
kan sampai. mimpi juga yang melambungkan angan. sepanjang titian. ada
harap yang kan pudar. kan pudar.
"biarkan mengalir sebagai air," katamu
ya, mencintaimu adalah mencintai air tak henti mengalir. dimana kau kan
sampai. di muara yang satu di laut keabadian? ah, tapi kau rindu juga
matahari!
Catatan perjalanan Nanang dalam setiap sajaknya tampak bernas. Sarat dengan pengalaman, diikuti pengetahuan serta harapan-harapan maupun kenyataan-kenyataan dalam lintasan hidupnya. Barangkali itu hanya catatan kecil bagi orang lain, tetapi mikroskop jiwa Nanang mengamati setiap gerak, tindak, maupun kejadian yang menghampirinya. Dan catatan-catatan kecil tadi dituliskan dengan bahasa sederhana. Kata-kata menjadi lentur di tangan Nanang, sehingga sajaknya mengalir begitu saja.
Sebagai pencatat yang baik dalam perjalanan hidupnya, dalam sajaknya “Berhentilah!” (hlm. 69), Nanang secara jujur mengungkapkan bagaimana dia terpengaruh Sutardji Calzoum Bahri. Aroma sajak Nanang itu memantulkan ritmis khas Presiden Penyair Indonesia itu.
berhentilah sejenak berhentilah nanang jangan terus berlari mengejar
bayang-bayang ke ujung cakrawala ke ujung impianmu tak ada habis
habisnya huruf dideret dileburkan dalam darah dalam airmata dalam dalam
begitulah sepi memagut cinta melarut sebagai sungai melaut melintas
berputar menguap ke udara ke udara
metamorfosis? Seperti kupu telur ulat kepompong kupu: hai pertapa!
berapa sunyi maumu berapa laut hausmu berapa langit harapanmu berapa
mimpi impianmu berapa cinta pintamu
berhentilah sejenak berhentilah nanang jangan menangis lagi jangan
terus menulisi udara bertuba darah mengalir otak tercecer daki menempel pipi
kering luka menganga gelisah manusia api menyala bom meledak kanak
tersungkur
berhentilah!
Betul. Pengaruh sah saja pada proses kepenyairan. Kendati pada Nanang pengaruh Sutardji cukup kental, sajak Nanang itu bukanlah sajak sekadar. Sajak itu memantulkan bagaimana Nanang mempelajari kredo Sutardji tentang pembebasan kata. Kata menjadi kata. Bukan lagi kata yang merupakan kumpulan huruf yang menghasilkan makna. Boleh jadi, Nanang menangkap pelajaran itu dan hasilnya adalah sajak “Berhentilah!”.
Keterpengaruhan Nanang bukan semata-mata dari Sutardji. Pencarian Nanang terpantul pada sajaknya, antara lain, “Jalan Cinta” (hlm. 82), “Dimana Engkau” (hlm. 83), “Tawanan Cahaya” (hlm. 84), dan “Kaulah Segala Takjub” (hlm. 93). Pencarian ini barangkali yang menguatkan dugaan Ahmaddun akan kereligiusitasan Nanang, dalam bayang-bayang penyair sufi tahun 1980-an, yang pada tahun 2000-an ini masih membekas, antara lain, pada Acep Zamzam Noor dan Ahmaddun Yosie Herfanda. Percakapan penyair dengan Sang Khalik tak jarang mencapai tingkat “mabuk berat”.
Nanang terbuka dalam sajaknya. Dan keterbukaan yang transparan itu tampak dalam sajaknya berjudul “Mawar” (hlm. 92).
"akulah mawar, duri lukai jemari
darah netes pada kelopak
rasa sakit tahankan
bukankah kau tulus mencintai"
duh, tanyamu! duh, tawamu!
Catatan hidup Nanang diungkapkannya dengan mengambil lambang percintaan. Mawar, duri, kelopak, jemari, darah, sakit, tulus, cinta…. Semua berpadu menjadi “ratapan dalam” yang ingin saja meledak dilepaskannya, tapi dilepaskannya hanya dengan dua kalimat: duh, tanyamu! duh, tawamu!
Paling tidak, dalam kumpulan ini Nanang menampakkan sosoknya sebagai penyair imajis. Tentu saja tidak pada sajak “Mawar” saja. Hampir pada setiap sajak Nanang, imaji nyaris menjadi kekuatan utamanya. Jadi, tidaklah aneh jika Nanang mengatakan dalam “Intro” (hlm. 11):
aku tak mengerti, katamu
pada sajak banyak ruang terbuka
terjemah kehendak, pada langit luas
atau gelombang berdentaman, dalam dada
mungkin cuma gurau melupa duka, karena
manusia menyimpan luka
berabad telah lewat, apa yang ingin
didusta? pada bening mata
tak bisa sembunyi
pura-pura
Sajak memang penuh ruang terbuka. Namun penyair akan sejujurnya mengungkapkan gagasan-gagasan dalam sajaknya, sehingga pada bening mata tak bisa sembunyi pura-pura. Paling tidak, itulah Nanang Suryadi, kelahiran Serang, 8 Juli 1973, staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, kini masih menjadi mahasiswa pascasarjana di Universitas Indonesia.
Bekasi, Januari 2003
Berhadapan dengan sajak tidaklah sama dengan berhadapan dengan prosa, baik cerita maupun tulisan bentuk lainnya. Bermuka-muka dengan sajak akan menguak pengalaman batin dan pengetahuan pikir serta kemampuan berimajinasi. Jika berhadapan dengan prosa, baik cerita maupun tulisan lainnya, akan terkuak pesan yang ingin dikomunikasikan pengarangnya kepada pembaca, berhadapan dengan sajak maka pembacalah yang diharapkan proaktif menguak pesan yang akan disampaikan penyairnya. Pasalnya, dalam sajak itu banyak ruang terbuka, mengutip kalimat dalam sajak Nanang Suryadi berjudul “Intro” (hlm. 11).
Paling tidak, itulah titik berangkat saya saat berhadapan dengan sepilihan sajak Nanang Suryadi berisi 99 sajak dalam kumpulannya berjudul Telah Dialamatkan padamu, terbitan Dewata Publishing tahun 2002 lalu. Saat berhadapan dengan Telah Dialamatkan padamu itu, saya pun diantarkan oleh Ahmaddun Y. Herfanda lewat tulisannya “’Erotisme Religius' Sajak Nanang”. Namun demikian, tetap saya mencoba mencari kuakan untuk mencapai pesan yang akan disampaikan sang penyair. Paling tidak juga, ini sesuai dengan pernyataan Ahmaddun yang mengutip pendapat Suminto A. Sayuti bahwa kemungkinan tafsir puisi bergantung pada kekayaan intelektual pembacanya.
Bermuka-muka dengan sajak Nanang, agaknya kita berhadapan dengan “buku pengalaman dan pengetahuan” yang terbuka dari seorang anak manusia. Keluh kesah, sedu sedan, suka duka, riang gembira, harapan, kenyataan, dan banyak lagi tercatat pada kepingan-kepingan sajak Nanang. Boleh dikatakan, berhadapan dengan sajak Nanang, kita akan mendapatkan kisah panjang dari episode perjalanan hidup. Tidak saja berjalan sekadar, tetapi juga berjalan mencari. Boleh jadi pencarian itu tanpa henti. Pencarian itu akan selesai atau tak akan pernah selesai, siapa berani menduga?
Jika Ahmaddun merasakan getar religius ketika berhadapan dengan sajak Nanang sehingga mengingatkan Ahmaddun terhadap sufistik pada era 1980-an, saat bermuka-mukaan dengan sajak Nanang, saya justru merasakan terdapat kepolosan seorang anak manusia mencatat setiap kejadian dalam dirinya. Entah catatan itu berupa pertanyaan, pernyataan, entah pula berupa bentuk-bentuk godaan yang akan dieksplorasi pada saat mendatang. Boleh jadi, getar keimanan seorang Nanang sebagai makhluk Tuhannya bergelora dan bersenyawa dengan kelajangan seorang perjaka tingting yang sibuk mengolah lahan cintanya terhadap gadis, sehingga melahirkan dugaan Ahmaddun bahwa Nanang itu penyair erotisme religius. Tapi, boleh jadi Nanang yang seorang lajang dan suka masuk ke dunia maya di internet, menguak situs XXX dan seluruh denyar darah dalam aortanya terpengaruh untuk menggerakkan jemarinya menekan tuts di keyboard untuk melahirkan sajaknya. Namun, sebelum sajak itu benar-benar lahir, kenakalan Nanang sebagai cyborg muncul, dia ubah huruf K dan M yang kecil tadi dengan huruf besar, seperti sajak bertajuk “Penari Telanjang” pada halaman 88 buku itu yang dicontohkan Ahmaddun. Tentu saja berubah segala maknanya.
Pertanyaannya, apakah betul begitu kejadiannya? Tentu hanya Nanang Suryadi, sang penyair, yang bisa menjawab. Namun, saat berhadapan dengan sajak, sah saja pembaca menguak berbagai kemungkinan dalam menukik ke dalam sajak, bahkan hingga yang paling tidak mungkin sekalipun. Apakah perlu sama hasil yang dikuak seorang pembaca dari sajak yang bermukaan dengannya, dengan pesan yang disampaikan penyairnya lewat sajak itu? Agaknya, dengan pengalaman dan pengetahuannya, pembaca boleh jadi berbeda dengan penyair. Sah saja pembaca menangkap pesan yang berbeda dengan pesan yang dimaksud penyairnya. Lantas, akan gagalkah penyairnya manakala pesan yang dikomunikasikannya lewat sajak, ternyata ditangkap berbeda oleh pembacanya? Pembaca bukanlah papan sasaran tembak yang diam di tempatnya, melainkan manusia yang bergerak baik rasa maupun pikirannya. Karena itu, perbedaan itu tentu tidak membawa arti bahwa penyair gagal mengkomunikasikan pesannya. Malah bisa saja itu justru makin memperkaya pemaknaan terhadap sajaknya. Hal ini, misalnya pada sajak “Aku” karya Chairil Anwar. Kau dalam sajak itu boleh berarti ‘orang kedua’. Namun, jika kata itu dibaca menjadi Ka – u, dalam bahasa Minangkabau itu artinya ‘orang kedua berjenis kelamin perempuan’. Apalagi kita mengetahui, Chairil berdarah Minangkabau dan pernah di Medan. Ucapan Ka – u di Kawasan Minangkabau maupun di Kota Medan sudah menjadi hal yang lumrah.
Catatan perjalanan Nanang dalam pencarian itu, sebagai salah satu contoh, adalah yang berjudul “Mencintamu adalah Mencintai Aliran Air Tak Henti Mengalir” (hlm. 34).
dimana kau sampai. sepi juga kiranya mendekapmu malam ini. kemana kau
kan sampai. mimpi juga yang melambungkan angan. sepanjang titian. ada
harap yang kan pudar. kan pudar.
"biarkan mengalir sebagai air," katamu
ya, mencintaimu adalah mencintai air tak henti mengalir. dimana kau kan
sampai. di muara yang satu di laut keabadian? ah, tapi kau rindu juga
matahari!
Catatan perjalanan Nanang dalam setiap sajaknya tampak bernas. Sarat dengan pengalaman, diikuti pengetahuan serta harapan-harapan maupun kenyataan-kenyataan dalam lintasan hidupnya. Barangkali itu hanya catatan kecil bagi orang lain, tetapi mikroskop jiwa Nanang mengamati setiap gerak, tindak, maupun kejadian yang menghampirinya. Dan catatan-catatan kecil tadi dituliskan dengan bahasa sederhana. Kata-kata menjadi lentur di tangan Nanang, sehingga sajaknya mengalir begitu saja.
Sebagai pencatat yang baik dalam perjalanan hidupnya, dalam sajaknya “Berhentilah!” (hlm. 69), Nanang secara jujur mengungkapkan bagaimana dia terpengaruh Sutardji Calzoum Bahri. Aroma sajak Nanang itu memantulkan ritmis khas Presiden Penyair Indonesia itu.
berhentilah sejenak berhentilah nanang jangan terus berlari mengejar
bayang-bayang ke ujung cakrawala ke ujung impianmu tak ada habis
habisnya huruf dideret dileburkan dalam darah dalam airmata dalam dalam
begitulah sepi memagut cinta melarut sebagai sungai melaut melintas
berputar menguap ke udara ke udara
metamorfosis? Seperti kupu telur ulat kepompong kupu: hai pertapa!
berapa sunyi maumu berapa laut hausmu berapa langit harapanmu berapa
mimpi impianmu berapa cinta pintamu
berhentilah sejenak berhentilah nanang jangan menangis lagi jangan
terus menulisi udara bertuba darah mengalir otak tercecer daki menempel pipi
kering luka menganga gelisah manusia api menyala bom meledak kanak
tersungkur
berhentilah!
Betul. Pengaruh sah saja pada proses kepenyairan. Kendati pada Nanang pengaruh Sutardji cukup kental, sajak Nanang itu bukanlah sajak sekadar. Sajak itu memantulkan bagaimana Nanang mempelajari kredo Sutardji tentang pembebasan kata. Kata menjadi kata. Bukan lagi kata yang merupakan kumpulan huruf yang menghasilkan makna. Boleh jadi, Nanang menangkap pelajaran itu dan hasilnya adalah sajak “Berhentilah!”.
Keterpengaruhan Nanang bukan semata-mata dari Sutardji. Pencarian Nanang terpantul pada sajaknya, antara lain, “Jalan Cinta” (hlm. 82), “Dimana Engkau” (hlm. 83), “Tawanan Cahaya” (hlm. 84), dan “Kaulah Segala Takjub” (hlm. 93). Pencarian ini barangkali yang menguatkan dugaan Ahmaddun akan kereligiusitasan Nanang, dalam bayang-bayang penyair sufi tahun 1980-an, yang pada tahun 2000-an ini masih membekas, antara lain, pada Acep Zamzam Noor dan Ahmaddun Yosie Herfanda. Percakapan penyair dengan Sang Khalik tak jarang mencapai tingkat “mabuk berat”.
Nanang terbuka dalam sajaknya. Dan keterbukaan yang transparan itu tampak dalam sajaknya berjudul “Mawar” (hlm. 92).
"akulah mawar, duri lukai jemari
darah netes pada kelopak
rasa sakit tahankan
bukankah kau tulus mencintai"
duh, tanyamu! duh, tawamu!
Catatan hidup Nanang diungkapkannya dengan mengambil lambang percintaan. Mawar, duri, kelopak, jemari, darah, sakit, tulus, cinta…. Semua berpadu menjadi “ratapan dalam” yang ingin saja meledak dilepaskannya, tapi dilepaskannya hanya dengan dua kalimat: duh, tanyamu! duh, tawamu!
Paling tidak, dalam kumpulan ini Nanang menampakkan sosoknya sebagai penyair imajis. Tentu saja tidak pada sajak “Mawar” saja. Hampir pada setiap sajak Nanang, imaji nyaris menjadi kekuatan utamanya. Jadi, tidaklah aneh jika Nanang mengatakan dalam “Intro” (hlm. 11):
aku tak mengerti, katamu
pada sajak banyak ruang terbuka
terjemah kehendak, pada langit luas
atau gelombang berdentaman, dalam dada
mungkin cuma gurau melupa duka, karena
manusia menyimpan luka
berabad telah lewat, apa yang ingin
didusta? pada bening mata
tak bisa sembunyi
pura-pura
Sajak memang penuh ruang terbuka. Namun penyair akan sejujurnya mengungkapkan gagasan-gagasan dalam sajaknya, sehingga pada bening mata tak bisa sembunyi pura-pura. Paling tidak, itulah Nanang Suryadi, kelahiran Serang, 8 Juli 1973, staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, kini masih menjadi mahasiswa pascasarjana di Universitas Indonesia.
Bekasi, Januari 2003
Comments
Post a Comment